Rabu, 28 Desember 2016

(Teaser) Twin Princess 'Anastasia' : Chapter 4



Suatu hari di bulan Desember. Judul chapternya pas banget dengan saat di mana Author memposting ulang cerita ini di blog. Well, settingnya emank di bulan Desember sih. Dalam suasana Natal yang penuh kedamaian dan sukacita. Adakah yang tertarik dengan kisah si Putri Kembar yang satu ini? Mumpung masih dalam masa promosi Akhir Tahun, tak bosannya saya mengingatkan kalau ada promo akhir tahun dari yang awalnya seharga IDR 55.000 sekarang bisa dibeli di Play Store/Google Play dengan hanya IDR 11.000,00. Murah kan? Kapan lagi coba bisa beli novel seharga hanya IDR 11.000 aja? Anastasia – Princess In Disguise ini termasuk salah satu pemenang Wattys Awards 2016 loh. Jadi gak rugi deh dibeli, apalagi harganya murah banget kan? Hehehe ^.^ Jika Anda tertarik, cara pembeliannya sudah saya jelaskan di bawah cuplikan novel ini ya... Happy Reading...

“(Teaser) Anastasia, Princess In Disguise : Chapter 4“




Chapter 4 : Once Upon A December

Flashback... 
Seorang gadis kecil berambut pirang lurus, berwajah cantik dengan bola mata berwarna biru terang, berusia sekitar sembilan tahun sedang duduk termenung di bawah pohon seraya memandang sedih ke arah langit dengan airmata menetes pelan.

Saat itu adalah musim dingin di bulan ke-12, Desember. Bulan yang seharusnya menjadi bulan favoritnya. Bulan Desember adalah bulan dia dilahirkan, Desember juga hari perayaan Natal, dia menyukai butiran-butiran salju yang turun di Bulan Desember. Sangat dingin namun indah dan lembut. Sama seperti hatinya yang entah sejak kapan menjadi dingin, mungkin sejak ibunya meninggal dua hari yang lalu. Dunianya serasa porak poranda, gadis yang awalnya ceria mendadak menjadi pendiam dan pemurung.

“Ibu, kenapa Ibu harus tinggalkan aku sendiri? Ini tidak adil. Bukankah Ibu bilang akan membantuku mencari Ayah kandungku?” ucap gadis kecil itu sambil terisak pelan dan menghapus airmata yang menetes di pipinya.

Salju perlahan turun dari langit, membuat udara semakin dingin mencekam. Angin musim dingin yang berhembus membuat kulitnya meremang, dia segera mengeratkan mantel hitam yang dikenakannya, mencoba untuk mengalahkan rasa dingin itu. Namun gadis itu sama sekali tidak berniat untuk beranjak.

“Ibu akan berubah menjadi bintang, yang akan selalu membimbingmu mencari jalan pulang, jadi  jangan menangis, sayang. Kalung itu adalah jalan untukmu pulang.” kenang gadis kecil itu pada ucapan terakhir ibunya sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhirnya dua hari yang lalu.

Spontan gadis kecil itu menggenggam sebuah kalung dengan liontin bintang yang bertuliskan sebuah nama di belakangnya “Anastasia”. Yah, itulah namanya.

Apa kalung itu adalah petunjuk untuk menemukan ayah kandungnya? Entahlah. Dia juga tidak yakin. Tapi satu yang pasti, dia tahu bahwa selama hidupnya Ibunya selalu menyembunyikan sesuatu darinya. Dipandanginya kalung itu saat secara tak sengaja dia mendengar suara teriakan dari arah yang tak jauh darinya.

“AARRGGGHHH!” suara anak laki-laki. Annie, begitu biasanya Sang Ibu memanggilnya, segera berlari ke arah sumber suara dan dia melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira dua atau tiga tahun lebih tua darinya jatuh tertimpa dahan sebuah pohon yang sepertinya cukup berat. Kaki kanannya terjepit dahan pohon itu, tak mampu bergerak.

“Tolong aku! Bisakah kau membantuku memindahkan dahan ini? Sakit sekali.” erangnya memelas seraya menatap Anastasia dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa banyak bicara, Anastasia segera menghampirinya dan mencoba memindahkan dahan pohon yang cukup berat itu. Anatasia menarik napas. Dia gagal di percobaan pertama. Bocah laki-laki itu semakin mengernyit sakit saat dahan pohon itu kembali menggelincir mengenai kaki kanannya.

“Aaarggghhh!” erangnya kesakitan. 
“Maafkan aku!” ujar Anastasia merasa bersalah. Peluh berjatuhan di keningnya, dia sendiri kelelahan karena tak kuat memindahkan dahan pohon itu saat sebuah ide terlintas di kepalanya.

“Aku punya ide. Tunggu sebentar!” ujarnya segera berlari menjauh ke suatu tempat. 
Dia berlari ke bawah pohon tempat dia duduk tadi dan meraih seutas tali yang sempat ingin digunakannya untuk gantung diri, tapi tidak jadi.

Dia segera kembali ke tempat bocah laki-laki itu terduduk kesakitan dan segera mengikatkan tali tambang itu di dahan pohon yang menimpa kaki bocah laki-laki itu sekuat mungkin lalu melemparnya ke dahan sebuah pohon yang tak jauh di belakang mereka, mengikatnya kuat di sana.

Lalu perlahan-lahan dia menarik dahan pohon yang menimpa kaki kanan bocah itu melalui tali tambang yang sudah diikat di pohon itu. Awalnya berat, tapi perlahan namun pasti, dahan yang menimpa dahan pohon itu kembali terangkat.

“Jika aku bilang ‘sekarang!’, kau bergeserlah ke samping dengan cepat, ya! Aku tak mampu menahannya lebih lama lagi, ini sangat berat.” ujar Anastasia dengan tangan berkeringat. Bocah itu mengangguk mengerti dan menyerukan “Aku mengerti.” dengan lantang.

“Sekarang! Bergeserlah sedikit!” Anastasia memberi instruksi. 
Melihat dahan pohon itu terangkat dari kakinya, bocah itu segera menyeret tubuhnya ke samping dengan susah payah, setelah merasa cukup jauh, dia berteriak memberi tanda, “Sudah.” ujarnya lantang.

Anastasia mengangguk lalu segera melepaskan talinya dan dahan pohon itu kembali terjatuh ke tanah dengan keras.

Anastasia hampir mati kelelahan. Tapi dia segera berlari ke arah bocah laki-laki itu dan bertanya khawatir, “Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas.

“Ah, kakimu berdarah. Ini buruk!” ujar Anastasia lalu segera merobek gaunnya dan membalutkannya di kaki kanan si bocah laki-laki yang hanya memandangnya tanpa berkedip. 
Dia cantik. Cantik dan baik hati.” ujar si bocah laki-laki dalam hatinya.

“Kau bisa berdiri? Aku akan memapahmu ke rumahku. Di sana kau bisa menghubungi keluargamu. Yang penting kita segera keluar dari hutan ini.” suara Anastasia yang renyah membuyarkan lamunan si bocah laki-laki yang hanya bisa menjawab gugup, “Kurasa bisa jika kau memapahku.” ujarnya canggung dengan jantung memburu.

Anastasia mengangguk lalu melingkarkan lengannya di pinggang bocah laki-laki itu sementara si bocah laki-laki itu meletakkan tangannya di pundak gadis itu. Berdua, mereka berjalan tertatih-tatih keluar dari dalam hutan itu.

“Terima kasih sudah membantuku. Suatu saat nanti aku akan membalas kebaikanmu.” ujar si bocah laki-laki.

Anastasia tersenyum mendengar kalimatnya, “Ibuku bilang, kita harus menolong orang tanpa pamrih.” jawabnya rendah hati, membuat bocah laki-laki itu semakin kagum.

Anastasia merawat bocah laki-laki itu di rumahnya, rumah yang ditinggalinya bersama Ibunya dan kini hanya menjadi rumahnya seorang begitu ibunya meninggal. 
“Kau tinggal sendirian?” tanya si bocah laki-laki bingung karena tak melihat siapa pun di sana. 
“Ibuku meninggal dua hari yang lalu.” jawab Anastasia sedih. 
“Kau tak punya keluarga lain?” tanya si bocah lagi. 
“Hanya ibu satu-satunya keluargaku.” jawabnya dengan murung. Oh, hati si bocah laki-laki semakin sakit.

Dia gadis yang baik tapi Sangat malang. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu?” ujar si bocah laki-laki itu dalam hati.

“Siapa namamu?” tanya si bocah laki-laki itu sekali lagi. 
“Annie.” jawab Anastasia seraya mengambilkan kotak obat yang selama ini disimpan Ibunya dan membawanya ke tempat bocah laki-laki itu terduduk tadi.

“Lalu Ayahmu di mana?” tanya bocah laki-laki itu lagi seraya mengeryit kesakitan saat Anastasia membubuhkan tumbuh-tumbuhan obat di kaki kanannya dan membalutnya lembut.

“Aku tak pernah mengenal Ayah kandungku. Ibu tak pernah menceritakannya sepanjang hidupnya. Tapi sesaat sebelum Ibu meninggal, Ibu menyuruhku mencari Ayah dengan petunjuk kalung ini.” jawabnya seraya menunjukkan sebuah kalung berliontin bintang di lehernya.

“Boleh aku lihat?” tanya si bocah laki-laki seraya menyodorkan tangan kanannya. Anastasia tersenyum lalu melepas kalung di lehernya dan memperlihatkannya pada bocah laki-laki itu yang segera mengamatinya dengan serius.

“Anastasia. Jadi itu nama panjangmu?” lagi, dia bertanya dan gadis itu mengangguk pelan. 
“Nama yang bagus. Anastasia berarti kebangkitan. Jadi sesuai dengan namamu, kau harus segera bangkit dari keterpurukan atas meninggalnya Ibumu.” hibur si bocah laki-laki sambil tersenyum.

“Bisakah? Aku tak punya siapa pun di dunia ini. Kurasa tidak mudah untuk menemukan Ayah kandungku.” jawab Anastasia sedih.

“Sudah selesai.” lanjutnya, memberitahu bahwa dia telah selesai mengobati luka bocah laki-laki itu. 
“Terima kasih.” jawab si bocah laki-laki itu dengan malu.

“Kalung ini sangat bagus. Ini benar-benar emas putih asli, ukiran nama di belakangnya menunjukkan bahwa kalung ini bukanlah kalung sembarangan yang dijual di pasar-pasar. Bentuknya sangat unik, dan rantai kalung ini pun bisa terbilang berat, ini kalung mahal. Mungkin saja ayah kandungmu sebenarnya orang kaya atau bahkan bangsawan,” lanjut si bocah laki-laki mengamati kalung itu dengan kagum. Dia sudah biasa melihat perhiasan mahal seperti itu, jadi dia bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.

“Benarkah?” Anastasia bertanya dengan mata berbinar. 
“Oh iya, aku belum tahu siapa namamu.” lanjutnya lagi malu-malu.

Bocah laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum hangat. 
“Namaku Alvan. Terima kasih telah menolongku. Aku berhutang nyawa padamu. Aku berjanji jika kau butuh bantuan, kau bisa mencariku dan aku akan mengabulkan permintaanmu, apa pun itu.” jawab Alvan dan Anastasia meraih uluran tangan itu dan mereka bersalaman sambil tersenyum.

“Benarkah? Termasuk mencari Ayah kandungku. Apa kau bisa membantuku?” tanya Anastasia berharap dengan mata berbinar.

“Aku tidak bisa. Aku masih kecil. Tapi kurasa Ayahku pasti bisa. Setelah aku sembuh nanti, aku akan meminta keluargaku untuk menjemputku dan akan kuminta Ayahku untuk membawamu tinggal bersama kami dan membantumu mencari Ayah kandungmu.” ujar si bocah laki-laki, Alvan sambil tersenyum manis.

“Tapi bisakah aku tinggal bersamamu?” tanya Anastasia ragu. 
“Tentu saja. Kau tak punya siapa pun di sini. Sangat berbahaya bagi seorang gadis kecil tinggal sendirian di desa terpencil ini. Akan lebih aman bila kau bisa ikut bersama kami. Ayahku pasti takkan menolak, karena bagaimanapun juga, aku sudah berhutang nyawa padamu, kan?” jawab Alvan berjanji.

“Kalau begitu kaitkan jari dulu. Kau harus berjanji akan menjemputku di sini dan membantuku mencari Ayah kandungku.” ujar Anastasia mengulurkan kelingkingnya ke depan.

Alvan tersenyum lalu mengkaitkan kelingking mereka sebagai perjanjian seraya berkata mantap, “Aku berjanji aku akan kembali untuk menjemputmu.” ujarnya sambil tersenyum.

Tak terasa sudah satu minggu Alvan tinggal di rumah mungil itu. Anastasia sangat senang karena dia memiliki seorang teman dan dia tidak kesepian lagi sekarang. Selama seminggu ini, mereka makan dari bahan makanan yang sudah disimpan oleh Ibu Anastasia sebelum dia meninggal. 

Tapi sayangnya tidak peduli sebanyak apa pun bahan makanan yang sudah disimpan oleh Ibunya, jika dimakan terus tentu suatu saat pasti akan habis juga.

Alvan dan Anastasia menjadi teman baik. Mereka tertawa dan bermain bersama. Membuat manusia salju, bermain ice skeating, lempar-lemparan bola salju, memandang bintang saat malam, atau hanya sekedar berjalan-jalan di tepi sungai sambil bergandengan tangan. Alvan merasa kaki kanannya sudah sembuh, dan sudah saatnya dia pulang. Dia sudah mengirim burung merpati dan memberitahu keberadaannya pada keluarganya agar mereka bisa segera menjemputnya.

Hari itu, Anastasia duduk sambil termenung sedih saat melihat beras yang disimpan Ibunya hanya tinggal sedikit. Alvan yang melihatnya segera berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya.

“Kau kenapa?” tanya Alvan lirih. 
“Bahan makanan sudah hampir habis. Bagaimana ini? Aku tak punya uang untuk membeli bahan makanan. Aku ingin bekerja tapi adakah tempat yang mau mempekerjakan gadis kecil berumur sembilan tahun?” tanya Anastasia sedih dengan airmata mengalir pelan.

“Aku rindu Ibuku.” lanjutnya lagi. Alvan segera meraih tubuh gadis itu dan memeluknya erat. 
“Jangan khawatir. Kau tidak sendiri. Kalau Ayahku datang, aku akan membawamu pergi bersamaku. Kita akan tinggal bersama jadi kau takkan kesepian.” hibur Alvan dan kedua anak kecil itupun berpelukan hangat.

Tak lama kemudian terdengar pintu diketuk pelan. Dengan mengusap airmatanya, Anastasia berjalan ke arah pintu dan membukanya dan dia melihat dua orang pria berbadan besar berdiri di depan pintunya, dia sampai harus mendongakkan kepalanya saat melihat kedua pria itu.

“Paman siapa?” tanya Anastasia dengan bingung. Salah satu dari pria itu berlutut sehingga sama tinggi dengan gadis kecil itu.

“Gadis kecil, apa Ibumu ada?” tanyanya sopan. 
Anastasia menggeleng pelan dan sedih, “Ibuku sudah meninggal.” jawab Anastasia dengan airmata mengalir.

“Oh maaf.” sahut pria itu dengan kasihan. 
“Kalau begitu apa Ayahmu ada?” tanyanya lagi. 
Lagi-lagi Anastasia menggeleng pelan sambil tetap menangis, “Aku tak punya Ayah.” jawabnya sedih.

“Ya ampun. Gadis kecil yang malang, lalu kau tinggal di sini dengan siapa? Aku mencari seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang tinggal di sekitar sini. Mungkin kau tahu.” tanya pria itu dan Anastasia akhirnya mengerti apa maksud kedatangan pria itu.

“Apa kalian mencari Alvan?” tanya Anastasia dengan polos. 
“Alvan? Beraninya kau memanggilnya dengan nama? Apa kau tidak tahu jika beliau adalah....” kalimat pria kedua terpotong oleh ucapan si pria yang sedang berlutut itu.

“Sudahlah. Dia masih kecil. Tidak perlu begitu perhitungan dengan seorang gadis kecil yang tak tahu apa-apa.” ujar si pria yang berlutut dengan sabar. 
“Benar, sayang. Kami mencari Alvan. Apa kau mengenalnya?” tanya si pria yang berlutut itu dengan sabar.

Anastasia mengangguk lalu berkata riang, “Tunggu sebentar, Paman. Akan kupanggilkan!” jawabnya lalu segera berlari ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan Alvan berjalan di sampingnya.

“Paman.” ujar Alvan senang dan berjalan ke arah mereka. 
“Akhirnya kami menemukan Anda, Pa....” kalimat pria yang berlutut tadi dihentikan oleh Alvan.

“Iya. Annie telah menyelamatkan aku saat aku tersesat dan terluka di dalam hutan. Aku berhutang nyawa padanya, Paman.  Bisakah dia ikut kita pulang? Annie tak punya siapa-siapa lagi.” pinta Alvan pada pria pertama lalu memberinya tanda agar lebih menunduk.

“Dia tak tahu siapa aku. Panggil saja aku Tuan Muda, mengerti?” perintah Alvan yang hanya dijawab dengan anggukan kepala mengerti.

“Baik, Pa...Eh, Tuan Muda.” jawabnya patuh dan Alvan tersenyum. Pria pertama lalu membisikkan kalimat yang sama di telinga temannya.

“Bagaimana? Apa kita bisa pulang sekarang? Jika iya, aku akan minta Annie berkemas.” ujar Alvan penuh harap seraya menggenggam tangan Anastasia.

Kedua pria hanya bisa saling pandang dan dengan raut wajah menyesal berkata, “Maafkan hamba, Pa...Eh, Tuan Muda, tapi tanpa seijin Ayah Anda, kami tak berani membuat keputusan. Bagaimana jika kita pulang dulu ke rumah lalu rundingkan ini dengan Ayah Anda, baru jika beliau setuju maka kita bisa menjemputnya di sini.” usul si pria pertama.

“Aku sudah tahu akan seperti ini.” gerutu Alvan. 
“Tidak apa-apa. Kau pulanglah dulu dan minta ijin pada Ayahmu. Aku akan menunggumu di sini.” jawab Anastasia pengertian.

“Tapi....” Alvan tampak tak rela. Tapi Anastasia berkeras meyakinkannya kalau dia baik-baik saja. 
“Aku baik-baik saja. Pergilah. Cepat pergi dan cepat kembali.” ujar Anastasia sambil tersenyum manis. Alvan terdiam berpikir lalu kemudian dia memberi perintah pada kedua bawahannya untuk lebih dulu membeli bahan makanan untuk Anastasia yang akan cukup dimakannya hingga dia kembali lagi.

Kedua pria itu segera melesat pergi dan kembali dengan membawa banyak sekali bahan makanan yang mereka beli di pasar dan meletakkannya di lemari penyimpanan makanan. Ada daging sapi, daging ayam, keju, susu, mie kering, telur, beras, gula, garam, minyak dll.
       
“Ini banyak sekali. Kau tak perlu melakukan ini, Alvan?” ujar Anastasia dengan sungkan.       
“Tidak apa-apa. Bukankah tadi kau bilang bahwa persediaan makananmu hampir habis. Setidaknya ini cukup untuk persediaan makan selama sebulan. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa membujuk Ayah, tapi aku berjanji, berhasil atau gagal, dalam satu bulan aku akan kembali untukmu, My Forever Friend.” janji Alvan.

“Teman selamanya.” sahut Anastasia sambil tersenyum seraya mengulurkan kelingkingnya. 
“Benar. Kita teman selamanya.” ujar Alvan menegaskan lalu mengkaitkan kelingking mereka dan kemudian memeluk Anastasia sambil menangis.

“Aku akan merindukanmu. Kau tunggu aku, ya. Aku pasti kembali untukmu.” ujar Alvan seraya memeluk Anastasia dengan erat.

“Aku akan menunggumu. Selamanya menunggumu. Aku akan menunggu hingga bunga menjadi layu.” janji Anastasia dengan airmata menetes pelan.

Lalu setelah mengucapkan janji bahwa mereka akan bertemu lagi, kedua pria itupun membawa Alvan pergi dari sana. Anastasia mengantar kepergian temannya sambil menangis, dia tampak tak rela, karena dengan perginya Alvan, dia akan kembali sendirian.

Hujan salju turut mengiringi kepergian Alvan yang tampak tak rela meninggalkan gadisnya. Dia berulang kali menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya disertai janji, “Aku akan kembali.

Menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, Satu bulan sudah berlalu, persediaan makanan yang diberikan Alvan untuknya juga mulai habis. Anastasia termenung sedih menatap salju yang turun di akhir bulan Desember, saat tiba-tiba pintunya diketuk dengan keras. 

“Alvan.” Anastasia berseru senang dan berlari membuka pintunya dengan penuh harapan, berharap bahwa itu adalah Alvannya. Tapi begitu kecewanya dia saat yang muncul di hadapannya adalah Kepala Desa beserta seorang wanita dan tiga orang pria berbadan besar.

“Annie sayang, karena kau yatim piatu dan tak punya siapa-siapa, mulai sekarang kau akan tinggal bersama mereka.” ujar si kepala desa seraya menunjuk pada empat orang yang berdiri di belakangnya.

“Siapa mereka?” tanya Anastasia dengan polos. 
“Mereka adalah orang-orang dari Panti Asuhan. Mulai sekarang kau akan tinggal bersama mereka. Di sana, kau akan bertemu dengan teman-teman sebayamu yang bernasib sama denganmu jadi kau takkan sendirian lagi sekarang.” bujuk kepala desa itu.

Anastasia terhenyak dan diam. Panti Asuhan. Pergi dari rumah tempat dia tinggal selama sembilan tahun lamanya? Tempat yang penuh dengan kenangan Ibunya dan tempat di mana Alvan berjanji akan menjemputnya? TIDAK. Anastasia menolak keras.

Tapi tidak peduli sekeras apa pun dia menolak, keempat orang dewasa itu tetap memaksanya pergi dari sana, dengan alasan dia tidak punya siapa pun yang akan akan menjaganya. Akhirnya karena tak mampu memberontak, Anastasia pun ikut mereka ke Panti Asuhan itu, meninggalkan semua kenangannya di tempat ini.

“Ibu, aku akan kembali.” ujar Anastasia berjanji seraya memandang rumah mungilnya dari dalam kaca kereta kuda yang membawanya pergi.
 “Alvan, aku berharap kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.” tambahnya perih.

End Of Flashback...

To be continued...

NOTE : WINNER OF WATTYS AWARDS 2016 for Category “Hidden Gems” alias “Permata Yang Tersembunyi” (Cerita Kurang Dikenal). Untuk bisa membaca hingga setengah novel, Anda bisa memfollow akun Wattpad saya : @lilianatan1708 tapi untuk membaca hingga TAMAT, Anda harus membeli versi novelnya hehehe ^.^

@@@@@@@

* Promo Tahun Baru E-Book Version Only IDR 11 Ribu 
Hai hai hai... Bagi yang suka dengan cerita Anastasia – Princess In Disguise, yang kantongnya bolong tapi pengen ngebaca kelanjutannya, ada promo besar nih di akhir tahun. Tapi hanya berlaku untuk E-Book ya. Dari yang awalnya seharga Rp 55.000 sekarang hanya jadi Rp 11.000 loh... Tunggu apalagi? Yuk buruan dibeli mumpung lagi ada promo nih...

 Harga Asli : IDR 55.000
 Harga Promo : IDR 11.000

Tinggal buka Google Play/Play Store lalu ketik nama “Liliana Tan” ==> Pilih “Judulnya” ==> Lalu klik “Beli” dan anda bisa memilih membayar dengan Debet/Kredit/potong pulsa.

Note : Promo HANYA BERLAKU HINGGA AKHIR TAHUN !!!

Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar